kisah sukses berwirausaha

Mantan Pengamen yang Jadi Pemilik Bimbel dan Restoran




Siswadi, pemilik Bimbingan Belajar Solusi, ternyata sudah hidup di jalanan sejak usia 8 tahun. Ia pernah mengamen di Semarang dan di terminal Pulo Gadung, Jakarta. Dari hasil mengamen, ia bisa menyelesaikan sekolah hingga SMU. Kini, ia sudah memiliki 45 cabang bimbel di Jabodetabek dengan omzet Rp 400 juta per bulan.



Salah satu cita-cita setiap orang tua adalah memberikan pendidikan yang terbaik bagi buah hati mereka. Karena itu, para orang tua rela merogoh kocek lebih dalam agar anaknya memperoleh pelajaran tambahan di luar sekolah lewat bimbingan belajar (bimbel).



Siswadi melihat perilaku para orang tua itu sebagai peluang bisnis. Ia mendirikan usaha bimbingan belajar (bimbel) bernama Solusi di Matraman, Jakarta, pada tahun 2008 silam.



Saat ini, bimbel Solusi terus berkembang dan memiliki 45 cabang yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Dari seluruh cabangnya tersebut, Siswadi mampu meraih omzet hingga Rp 400 juta per bulan.



Memiliki usaha bimbel yang sukses belum membuat Siswadi puas. Keuntungan bisnis bimbel ia putar di bisnis restoran. Kini, Siswadi sudah mempunyai tujuh restoran dengan laba bersih Rp 49 juta per bulan.



Namun, semua kesuksesan itu bukan jatuh dari langit. Bisnis bimbel dan restoran Siswadi juga bukan bisnis warisan, lo. Laki-laki kelahiran Purwodadi, Jawa Tengah, ini membutuhkan waktu panjang untuk membangun bisnis bimbel dan restoran.



Siswadi lahir dan besar dari keluarga yang serbakekurangan. Tapi, Siswadi yang ditinggal pergi begitu saja oleh ayahnya pada usia lima tahun itu memiliki semangat besar untuk mengubah nasib.



Sewaktu duduk di kelas III SD, Siswadi sempat berusaha mencari ayahnya ke Semarang. Karena tidak punya kerabat, Siswadi telantar dan menjadi pengamen untuk mendapatkan sesuap nasi di kota itu.



Sembari mengamen, Siswadi tetap mencari kabar tentang sang ayah. Tapi, akhirnya, ia menyerah dan kembali ke Purwodadi. Setelah beberapa lama di rumah, Siswadi memutuskan untuk merantau ke Jakarta dengan naik kereta api. "Karena tak mempunyai tiket, saya diturunkan di sawah," kenang Siswadi.



Tidak patah arang, Siswadi berjalan kaki menyusuri sawah hingga bertemu dengan terminal bus. Dengan modal mengamen, Siswadi sampai di terminal Pulo Gadung, Jakarta. "Agar tetap hidup, saya mengamen di terminal itu," jelas Siswadi.



Hidup di jalanan membuat Siswadi berkenalan dengan banyak orang. Ia bahkan pernah ikut demonstrasi di tahun 1998 demi mendapatkan sebungkus nasi. Karena sering demonstrasi, Siswadi terdampar di markas kelompok mahasiswa proreformasi bernama Forum Kota (Forkot).



Siswadi pun akhirnya menetap di markas Forkot itu sembari ikut sekolah kejar Paket A, setara dengan SD. Setelah lulus, Siswadi meninggalkan Forkot dan melanjutkan sekolah ke SMP.



Karena tidak punya tumpuan, Siswadi kembali mengamen untuk mencari sesuap nasi dan juga biaya sekolah. Bahkan terkadang, ia meminta uang secara paksa kepada murid lain. "Untungnya kepala sekolah berbaik hati dan membebaskan saya dari SPP," kata dia.



Ketika ia duduk di bangku SMU, Siswadi juga bekerja keras di sebuah persewaan game untuk membiayai sekolah. Selain itu, ia aktif di kegiatan nasyid SMU, bahkan sempat menjadi juara antar-SMU. "Sejak itu, saya mulai tenang dan tidak nakal," ungkap Siswadi.



Lulus SMU, Siswadi sempat kuliah di Universitas Bhayangkara. Tapi, kemudian, ia memutuskan bekerja sebagai tenaga marketing di sebuah lembaga bimbel. Di tempat bimbel itulah Siswadi belajar seluk-beluk usaha bimbel. Berbekal pengalaman itu, ia mengajak teman-temannya membuka bimbel sendiri pada 2008.



Dengan memanfaatkan rumah salah seorang temannya, Siswadi mengeluarkan kocek Rp 300.000 untuk perlengkapan bimbel. "Saya dapat murid 95 siswa saat itu," kata Siswadi.



Dua siswa dari seluruh siswa didikannya itu lolos seleksi program pertukaran pelajar Indonesia-Jerman. Setelah itulah, bimbel Solusi diincar banyak siswa. Apalagi dari sisi bayaran, bimbel Solusi menawarkan paket hemat yang terjangkau bagi kalangan bawah.



Dalam waktu tiga tahun, bimbel Solusi berkembang menjadi 45 cabang dengan jumlah karyawan 500 orang. Setelah bimbel berjalan, Siswadi menyempatkan diri meneruskan kuliah di universitas yang berbeda.



Dengan segmen menengah ke bawah, bimbel Bintang Solusi Mandiri berusaha menarik biaya belajar yang murah. meski murah, Siswadi tetap memberikan standar yang tinggi untuk kurikulum dan pelajaran yang diberikan. Karena itu, Solusi terus berkembang dan tak hanya diminati kelas bawah saja.



Tekad untuk terus maju dan berhasil membuat Siswadi tak pernah menyerah. Setelah menyerap pengalaman dan ilmu dari pekerjaannya sebagai tenaga pemasaran di sebuah bimbingan belajar, ia memutuskan untuk membuka usaha sendiri.



Dia lalu mengajak lima orang temannya membuka bisnis bimbingan belajar (bimbel) di daerah Matraman, Jakarta. Tekad Siswadi membentuk bimbel sendiri tak sekadar untuk mencari penghasilan. Siswadi juga ingin membuktikan bahwa bimbel itu hak semua murid dari semua status sosial.



Itulah sebabnya, dalam mengelola bimbel, Siswadi berusaha menjangkau murid SD dan SMP dari kalangan menengah bawah dengan menawarkan biaya murah.



Tapi perjuangan itu memang tak mudah. Siswadi mengaku kesulitan dalam mencari tempat usaha di saat awal mendirikan bimbel. Keterbatasan modal membuatnya tidak bisa menyewa tempat strategis. Siswadi pun harus puas bimbel dibuka di rumah kosong milik temannya di bilangan Matraman.



Ketika awal buka, sebanyak 98 murid SD menjadi siswa pertama bimbel Solusi. ”Alhamdulillah semuanya lulus masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), bahkan dua di antaranya berhasil ikut pertukaran pelajar ke Jerman,” kenangnya.



Dia banyak menggunakan insting dalam memilih pelajaran. Dan ternyata insting Siswadi memang jitu. Sebab banyak siswa yang mengatakan bahwa yang diajarkan di Solusi banyak yang keluar saat ujian. "Yang menurut saya soalnya sulit dan kompleks kita ajarkan ke siswa," jelasnya.



Tapi itu dulu. Setelah bisnis kian membesar, Siswadi tak mau lagi menggunakan insting untuk membantu belajar anak didiknya. Solusi kini sudah punya tenaga kurikulum yang menyusun soal dan materi pelajaran yang dia seleksi dengan ketat.



Alhasil, dengan kurikulum yang tersusun baik dan banyaknya bukti kurikulum itu sukses, membuat Solusi semakin terkenal. Jika pada awalnya Solusi mentargetkan anak didik dari kalangan menengah ke bawah, saat ini siswa yang bergabung juga banyak dari kalangan atas. "Tiga tahun lalu kami memang fokus anak kurang mampu, sekarang kami juga menjangkau kalangan kelas atas," kata Siswadi.



Walau sudah merambah segmen menengah atas, Siswadi tetap mematok tarif murah Rp 500.000 per semester. "Itu menjadi daya tarik tersendiri, sebab walaupun murah namun materi yang diajarkan berkualitas," klaim Siswadi.



Dengan tarif yang terjangkau, siswa juga akan mendapatkan modul belajar, buku pengembangan, serta tempat belajar ber-AC. Siswa juga memperoleh training atau seminar motivasi yang berlangsung di tengah atau akhir semester.



Siswadi menjamin bahwa kualitas pembelajaran di Solusi terstandar dengan baik. Dengan menerapkan konsep belajar team best learning plus setiap kelas hanya berisi 10 siswa. Modul pembelajaran yang diberikan juga ringkas dan mudah dimengerti.



Beragam strategi itu juga menggiring Siswadi jadi penerima penghargaan penyelenggara bimbel terbaik versi majalah bisnis nasional pada 2009 silam. Penghargaan itu didapatkan berkat peningkatan jumlah siswa yang mencapai 100 persen tiap semester.



Agar bisnis bimbelnya terus berkembang, Siswadi kemudian mewaralabakan Solusi. "Kami ingin mengembangkan bimbel Solusi ke seluruh Indonesia," katanya.



Saat ini bimbel Solusi telah memiliki 45 cabang dan mitra di seluruh Indonesia dengan total murid sekitar 7.000 orang. Karyawan yang bekerja di Solusi juga sudah mencapai 470 orang. Dengan jumlah cabang tersebut, omzet yang diperoleh setiap bulan bisa mencapai Rp 400 juta.



Namun demikian, sukses yang diraih Siswadi tidak menghilangkan kenangan saat dia harus berjuang menjadi pengamen di jalanan. Sebagai wujud syukur atas segala suksesnya sekarang ini, saat ini Siswadi memberikan kursus gratis bagi anak yatim piatu. "Di balik kesuksesan pasti ada hak orang lain," katanya.



Merambah bisnis kuliner



Setelah sukses membangun usaha bimbingan belajar (bimbel) Solusi Bintang Mandiri, tidak membuat Siswadi berpuas diri. Mantan pengamen jalanan di Terminal Pulo Gadung itu bahkan kian getol mencari peluang bisnis baru. Bidang usaha baru yang dilirik Siswadi adalah bisnis kuliner.



Bersama lima orang temannya, pada 2010 lalu, Siswadi membuka restoran dengan modal Rp 50 juta. Pertama kali, ia membuka restoran itu di Ciputat, Banten, tidak jauh dari kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.



Begitu dibuka, restoran tersebut ternyata mampu menggaet banyak pelanggan yang kebanyakan berstatus mahasiswa. Tidak hanya menjadi tempat makan saja, restoran Siswadi juga sering menjadi tempat nongkrong mahasiswa.



Karena pasarnya mahasiswa, Siswadi sengaja menyajikan menu murah seperti laiknya mengudap di warung tegal (warteg). Dengan isi kantong Rp 5.000 saja, pelanggan sudah bisa makan dengan kenyang. Namun, demi kenyamanan Siswadi menerapkan layanan kelas restoran.



Tengok saja ruang restoran yang terkesan mewah karena ber-AC dan dilengkapi dengan teve layar datar. Tak hanya itu, restoran yang diberi nama Rest Door itu dilengkapi perangkat audio yang tak henti bersenandung saat pelanggan melahap hidangan. "Konsep ini memadukan warteg dengan restoran berbintang," kata Siswadi.



Perkawinan warteg dengan restoran itu pun menjadi kunci sukses bisnis restoran Siswadi. "Warteg punya keunggulan yaitu murah, ini penting untuk diadopsi," kata Siswadi.



Tidak cukup setahun, Siswadi memutuskan menambah cabang. Kali ini, ia melirik segmen lain selain mahasiswa. "Ada peluang untuk karyawan perkantoran," kata Siswadi.



Untuk melayani urusan perut para karyawan kantoran itu, Siswadi lantas membuka cabang Rest Door di Jalan Gatot Subroto. Tak hanya itu, ia juga membuka enam gerai lagi yang tersebar di Pamulang, Pondok Gede, dan di beberapa tempat di wilayah Jabodetabek lainnya. "Total ada tujuh cabang yang saya buka dalam setahun," kata Siswadi



Dewi Fortuna memang lagi berpihak pada Siswadi. Pendapatan tujuh restoran itu sesuai dengan harapan Siswadi. Walaupun keuntungan yang ia kutip relatif kecil, Siswadi berharap perputaran uang dari banyaknya pelanggan. "Harga murah serta tempat yang nyaman akan membuat orang kembali lagi makan ke tempat kami," jelas Siswadi.



Dari setiap restoran, Siswadi bisa mendulang omzet minimal Rp 2 juta per hari. Artinya, dalam sebulan tujuh restoran itu bisa mendatangkan omzet hingga Rp 420 juta.



Setelah usaha bimbel dan restoran menemukan jalan terang, Siswadi mengaku tidak mau muluk-muluk. Tahun ini, ia hanya ingin fokus mengembangkan bisnis yang ada. "Restoran ini baru setahun, kami kembangkan dulu" kata anak ketiga dari empat bersaudara itu.



Dalam mengembangkan bisnis, Siswadi memiliki satu niat yaitu membahagiakan sang ibu. Ia bilang, perjalanan hidup yang ia alami selama ini tidak lepas dari motivasi yang diberikan oleh sang Ibu. “Sumber semangat bisnis itu paling utama adalah keluarga," kata Siswadi yang sedari kecil ditinggal pergi oleh sang Ayah.



Selain sukses bikin usaha sendiri, pria yang berusia 27 tahun itu sukses menyelesaikan kuliah. Dengan meraih gelar sarjana, ia juga bisa merealisasikan cita-cita keluarga. "Sebelumnya di keluarga saya tidak ada satu pun yang bisa melanjutkan kuliah," tutur Siswadi.



Kebahagian Siswadi juga tercukupi saat ia berhasil menemukan sang Ayah yang telah meninggalkan dia sejak ia berusia lima tahun. Siswadi mendapat informasi tentang keberadaan sang Ayah dari salah seorang tetangga di kampung halaman. "Saya langsung mencari ke lokasi untuk membuktikan kebenaran informasi itu," kata Siswadi.



Ternyata, ayah Siswadi menetap tidak jauh dari desa. Saat ditemui Siswadi, sang ayah sudah uzur. “Alhamdulillah, saya bisa menemukan beliau," kata Siswadi yang kini bercita-cita ingin membahagiakan kedua orang tuanya itu.
readmore »»  

Aswan, Sukses Usaha Bermodal Duit Pesangon


Menjadi korban PHK tidak selamanya membuat nasib terpuruk. Justru setelah PHK, Aswan Nasser sukses berwirausaha di bidang perlengkapan bayi bermerek La Vindhy Children & Baby Wear. Kini Aswan mampu mencatat omzet sekitar Rp 100 juta per bulan. Bahkan dia sudah ekspor produknya itu ke Afrika Selatan.

Membangun usaha dari hasil jerih payah sendiri memang tak semudah membangun usaha hasil warisan. Hal itulah yang dirasakan Aswan Nasser, pemilik merek La Vindhy Children & Baby Wear yang merintis usaha perlengkapan bayi pada tahun 2004.

Walaupun sulit, Aswan membuktikan dengan kerja keras ia bisa membangun usahanya itu. Kini, Aswan sudah memiliki tiga gerai penjualan perlengkapan bayi di Bandung, Jawa Barat. Selain itu, Aswan juga memasok perlengkapan bayi ke sejumlah toko dan department store yang ada di Bandung hingga Jakarta.

Tak puas hanya menjadi produsen kelas lokal, sejak beberapa tahun silam, Aswan merintis ekspor perlengkapan bayi merek La Vindhy Children & Baby Wear ke Afrika Selatan dan Hongkong. "Butuh waktu juga untuk bisa ekspor itu," kata Aswan.

Namun dari semua cerita sukses itu, yang membuat Aswan senang adalah dia bisa memberi kesempatan kerja pada orang lain. Lihat saja, usahanya yang kini beromzet sekitar Rp 100 juta per bulan itu, telah mampu menampung sebanyak 32 pekerja.

Aswan mengungkapkan, sebelum terjun ke dunia bisnis, dia adalah karyawan Bank Exim sejak tahun 1987. Dia bekerja di bank milik pemerintah itu selama 13 tahun lamanya. Bahkan saat bank itu merger menjadi Bank Mandiri, Aswan menyandang jabatan Asisten Wakil Direktur Bank Exim.

Karena merger itu pula, Aswan pun harus rela kehilangan pekerjaan alias terkena PHK. "Jabatan itu ternyata tidak lama, karena saya keburu di PHK," kenang Aswan.

Setelah PHK, Aswan sempat kebingungan lantaran jadi pengangguran. Walaupun ada niat ingin bekerja tetapi krisis ekonomi membuat lowongan pekerjaan di perbankan menjadi terbatas. "Saya sempat kebingungan, saya itu mau ngapain," jelas pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu.

Karena terdesak kebutuhan ekonomi, Aswan memutuskan untuk berdagang. Dengan modal uang pesangon, Aswan memulai jualan seprai serta bed cover. Bersama sang istri, Aswan menjajakan seprai kepada para kolega dan teman-temannya. Walaupun labanya menggiurkan, tetapi seprai itu hanya laris pada waktu tertentu saja alias musiman. "Penjualan ramai hanya bulan puasa saja," keluh Aswan.

Setahun lamanya Aswan bertahan dengan berjualan seprai. Hingga akhirnya, ia memutuskan banting setir menjual produk lain yang lebih menguntungkan dan lebih banyak peminat, yakni berjualan pakaian dan perlengkapan bayi. "Selama masih ada bayi yang lahir, selama itu juga pakaian dan perlengkapan bayi akan dibutuhkan," ungkap Aswan.

Agar fokus untuk berjualan pakaian bayi, Aswan memboyong keluarganya tinggal di kota Bandung. Tujuannya agar bisa lebih dekat dengan produsen perlengkapan bayi yang banyak terdapat di Kota Kembang itu.

Dengan modal sebesar Rp 75 juta, sisa pesangon yang tersisa, Aswan pun serius menggarap usaha pakaian dan perlengkapan bayi itu. Aswan menjual perlengkapan bayi dengan cara memasarkannya dari toko ke toko hingga masuk ke department store.

Setelah mendapatkan langganan, Aswan mendapat batu sandungan. Produsen tempat ia mengambil perlengkapan bayi enggan memberikan barang kepadanya. "Pasokan barang sempat terhenti," ujar Aswan.

Demi menjaga nama baik kepada pelanggan, Aswan memutuskan untuk memproduksi pakaian bayi dengan membuka konveksi sendiri. Ia membeli mesin jahit dan mencari tenaga kerja terampil yang banyak di kota Bandung. "Saya nekat memproduksi perlengkapan bayi sendiri," kata alumni Universitas Diponegoro itu.

Bak gayung bersambut, keputusan Aswan memproduksi perlengkapan bayi mendapat sambutan baik dari sang istri tercinta Sri Gamawati. Kebetulan, Sri mahir menjahit pakaian tetapi bukan pakaian bayi.

Sembari belajar menjahit pakaian bayi, Sri mengkoordinir penjahit terampil asal Bandung untuk memproduksi aneka celana, baju, kaus kaki, dan sepatu untuk bayi. "Istri saya yang memproduksi, saya yang menjual," ungkap Aswan.

Sarjana dari penjualan kopi

Pengalaman berdagang semasa kuliah menyelamatkan Aswan Nasser dari kesulitan akibat kena PHK. Dengan pengalaman jualan kopi saat kuliah, pria 44 tahun itu merintis usaha perlengkapan bayi La Vindy Children & Baby Wear di Bandung. Namun merintis usaha memang tak mudah.

Bekerja belasan tahun di perbankan ternyata tidak menghapus jiwa entrepreneur Aswan Nasser, produsen La Vindy Children & Baby Wear, produsen pakaian dan perlengkapan bayi di Bandung, Jawa Barat.

Bakat sebagai seorang wirausahawan itu justru semakin kentara ketika Aswan harus kehilangan pekerjaan. Awalnya memang tertatih-tatih, namun Aswan akhirnya mampu membangun bisnis pakaian dan perlengkapan bayi tersebut.

Sebenarnya, Aswan memang tak buta sama sekali tentang dunia usaha. Bagaimana pun, pengalamannya sebagai bankir tentu juga bersentuhan dengan dunia usaha. Apalagi Aswan punya pengalaman sebagai penjual kopi ketika dia masih kuliah di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. "Saat kuliah, saya sudah berjualan. Jadi sudah terbiasa," kata Aswan.

Saat menimba ilmu itu, Aswan sudah nyambi dengan menjadi penjual kopi bubuk produksi orang tua sahabatnya. Ketika itu, dia hanya bermodal semangat. Namun dengan semangat itu pula, Aswan mampu berjualan kopi hingga ke Tegal, Pekalongan hingga ke Cilacap.

Bahkan, dia mengaku keasyikan berjualan sehingga sempat melupakan kuliah. "Sampai-sampai kuliah kerap bolos," kata Aswan dengan tawa mengembang. Dari laba jualan kopi itulah, Aswan mendapatkan tambahan uang saku dan juga untuk ongkos kuliahnya.

Walaupun orang tua Aswan terbilang mampu, Aswan tidak ingin merepotkan mereka. "Awalnya cuma coba-coba ternyata menguntungkan," jelas Aswan.

Nah, setelah jadi pengangguran, Aswan benar-benar mensyukuri pengalamannya berjualan kopi di masa lalu itu. Dari pengalaman itu pula, Aswan kembali tegak berdiri menyongsong masa depannya. "Pengalaman itu menjadi bekal saya sekarang ini," imbuh Aswan.

Aswan mengakui memulai usaha itu memang berat. Bisnis sebagai produsen dan pedagang aneka produk perlengkapan bayi, memang tak selalu bisa berjalan mulus. Bahkan ketika usaha sudah mulai berkembang sekalipun.

Ketika itu, Aswan mengenang, sempat kehabisan stok barang akibat produsen pakaian dan perlengkapan bayi langganannya menghentikan pasokan barang kepadanya. Karena tidak punya produk yang bisa dijual, usaha Aswan pun sempat goyah.

Namun bagi Aswan, merenungi masalah tak akan menyelesaikan persoalan. Karena itu, dia justru mengubah masalah itu menjadi peluang. Untuk menyelesaikan masalah pasokan tersebut, Aswan memutuskan memproduksi sendiri aneka perlengkapan bayi itu. "Masalah saya jadikan peluang," tegas Aswan.

Saat merintis produksi perlengkapan bayi itu, Aswan menyewa sebuah rumah di Bandung. "Saya dan istri belajar tiga bulan agar bisa membuat perlengkapan bayi itu," terang Aswan.

Pertama kali produksi, Aswan bersama istrinya dibantu seorang karyawan. Dalam sepekan, Aswan mampu memproduksi 40 lusin pakaian bayi. "Hasil produksi itu saya pasarkan ke department store," kenang Aswan.

Setelah produksi berjalan lancar, halangan usaha ternyata belum berhenti. Aswan mengenang, ketika itu ada seorang pembeli yang gagal bayar pesanan senilai Rp 14,4 juta.

Sedikitnya ada 20 lusin tas perlengkapan bayi yang ia produksi menumpuk di rumahnya karena pembeli membatalkan pemesanan. "Hal ini membuat putaran modal saya terhenti," kata Aswan mengenang. Tak hanya itu, Aswan sempat merugi karena pesanan produk yang telah diproduksi itu ternyata tidak sesuai dengan pesanan.

Demi menjaga kepercayaan pembeli pula, Aswan pun rela merugi dengan mengganti semua pesanan yang tak sesuai dengan keinginan pelanggan itu. "Daripada hilang pelanggan, lebih baik keuntungan berkurang," ungkap Aswan.

Menurut Aswan, untuk menjadi pengusaha tangguh pantang patah arang, halangan-halangan usaha seperti yang pernah dia alami adalah sesuatu yang biasa. Ia juga yakin rintangan itu juga bisa terjadi pada pengusaha lain.

Rekrut penjahit pemula

Sukses menjadi pemasok perlengkapan bayi ke departement store membuat Aswan Nasser makin berambisi meluaskan usaha. Setelah membuka tiga gerai di Bandung, La Vindhy telah mempunyai empat terwaralaba. Kini Aswan juga sedang mempersiapkan pembukaan cabang baru di Solo dan Semarang.

Terampil melakukan penjualan membuat usaha pakaian dan peralatan bayi milik Aswan Nasser berkembang pesat. Hingga kini ia telah menjadi pemasok di 30 departement store yang tersebar di Pulau Jawa.

Tidak hanya itu, Aswan juga mulai meninggalkan ketergantungan dari pemasok dan mulai serius membuat produk sendiri. Nah, begitu mempunyai produk sendiri, Aswan pun membuka gerai yang dia beri nama La Vindhy Children & Baby Wear di Bandung. "Hingga sekarang saya sudah memiliki tiga gerai, seluruhnya ada di Bandung," kata Aswan.

Agar usahanya bisa berkembang, Aswan dalam waktu dekat berencana untuk mendirikan cabang di kota Solo dan kota kelahirannya, Semarang, Jawa Tengah.

Selain itu, tahun lalu, Aswan juga menawarkan usaha waralaba perlengkapan bayi ini kepada khalayak. tak tanggung-tanggung, usaha waralaba yang ditawarkan Aswan adalah waralaba konveksi dan waralaba toko.

Untuk waralaba konveksi, Aswan sudah memiliki dua terwaralaba, semuanya dari Jawa Barat. Untuk waralaba konveksi itu, Aswan menawarkan paket investasi sebesar Rp 43 juta.

Investor yang berinvestasi pada waralaba konveksi itu akan mendapatkan dua mesin jahit, mesin potong kain, bahan baku, serta pelatihan usaha.

Sedangkan hasil produksi dari konveksi bisa dijual lewat gerai-gerai La Vindhy. Hitungan Aswan, setidaknya 60 persen produksi terwaralaba konveksi itu dijual lewat toko La Vindhy. Sedangkan, "40 persen sisanya dijual ke pasar umum," terang Aswan.

Namun, penambahan pasokan perlengkapan bayi dari terwaralaba konveksi itu tidak semerta-merta mampu melayani seluruh permintaan. "Kami baru bisa melayani 25 persen dari total permintaan," terang Aswan.

Untuk melayani semua permintaan, Aswan berencana menambah penjahit untuk konveksi miliknya sendiri. Namun, untuk menghemat biaya, Aswan tidak mencari penjahit profesional. Ia malah mencari pejahit pemula.

Untuk mencari penjahit pemula, Aswan membuat program kursus menjahit gratis di sebuah perkampungan di pinggiran kota Bandung. "Program kursus menjahit gratis ini sedang berjalan," ungkap Aswan.

Peserta kursus menjahit yang dicari Aswan itu berasal dari pengangguran yang ada di perkampungan itu. Setelah diberi kursus dan mahir dalam menjahit, maka peserta itu bisa mendirikan usaha menjahit sendiri atau ikut bergabung dengan konveksi miliknya.

Jika program itu berhasil, maka Aswan tidak hanya mampu menambah produksi dengan menambah tenaga kerja dari penjahit pemula itu. Ia bisa berbangga hati karena ikut membantu tugas pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. "Seharusnya program ini mendapat dukungan dari pemerintah," harap Aswan.

Dalam membuat perlengkapan bayi, Aswan mengaku membuat produk yang berkualitas. Sebab, pria asli Semarang itu membidik segmen pasar kelas menengah atas.

Namun soal harga, ia berani menjamin harga yang bersaing. Ia memberi contoh, harga gendongan bayi dijual Rp 21.000 hingga Rp 50.000 per potong. Untuk tas bayi dijual Rp 24.000 - Rp 75.000 per potong, sedangkan baju bayi dijual Rp 60.000 per lusin. "Kami memberikan jaminan kualitas," klaim Aswan.

Adapun untuk paket waralaba toko perlengkapan bayi, Aswan mematok nilai investasi sebesar Rp 15 juta. Sejak ditawarkan tahun lalu, kini Aswan sudah mempunyai dua terwaralaba toko perlengkapan bayi. Kedua terwaralaba itu membuka gerai di Bandung.

Walaupun belum banyak yang menjadi terwaralaba, tapi Aswan mengaku tetap menjaga kondisi bisnis terwaralabanya. Ia mengklaim, setelah satu tahun bisnis waralaba berjalan, ia tidak menemukan adanya kendala. "Ini bukti usaha kami mengutungkan, karena tidak ada terwaralaba saya yang merugi," terang Aswan.
readmore »»  

Dari Sukun Meraup Puluhan Juta Rupiah


Meski bukan penganan jenis baru, keripik sukun memiliki banyak penggemar. Rasanya yang gurih dan renyah tak membosankan lidah. Pengusaha keripik sukun pun mampu mendulang omzet hingga jutaan rupiah. Mereka juga berinovasi mengembangkan produk baru.

Kudapan kecil bernama keripik memang sudah sangat akrab di lidah masyarakat Indonesia. Maklum, camilan ini sangat cocok dinikmati di sela-sela waktu santai berteman kopi atau teh hangat.

Salah satu adalah keripik sukun. Lihat saja rezeki yang diperoleh Hasnah, produsen keripik sukun asal Manggar, Belitung. Perempuan ini telah mulai membuat keripik sukun sejak 1996.

Ia memanfaatkan buah sukun karena, meski tak banyak, pasokannya relatif stabil. Hasnah membuat tiga jenis produk keripik, yakni keripik biasa, keripik lebar, dan stik. Jika keripik biasa dibuat dari buah sukun yang sudah tua, keripik lebar dibuat dari buah sukun muda.

Selain keripik, buah sukun yang sudah tua juga dibuat menjadi stik. "Bagian luarnya dibuat keripik, bagian dalam dibuat stik," jelas Hasnah.

Kini, Hasnah mampu memproduksi hingga 500 bungkus keripik sukun per hari. Ia membubuhi kemasan keripik sukunnya itu dengan merek Nuansa Baru. Dengan harga jual Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per bungkus, Hasnah bisa mendulang omzet hingga Rp 50 juta sebulan.

Hanya, ia masih membatasi pemasaran keripiknya di sekitar Belitung dan Bangka. Pasalnya, ia belum bisa mendapatkan pasokan buah sukun secara rutin. Pasokan sukun sangat tergantung musim. "Jika musim hujan, kami bisa mendapatkan buah sukun yang lebih banyak dan bagus," timpal Ronal Indrawan, putra Hasnah.

Jika persoalan itu bisa teratasi, Hasnah ingin menjual keripik sukun Nuansa Baru ini ke pasar yang lebih luas. Apalagi, keripik ini memiliki daya tahan hingga tiga bulan.

Selain dari Belitung, banyak pula pengusaha keripik sukun asal Yogyakarta. Salah satunya Ronny Dahlan. Pemilik CV Gema Lestari ini mulai membuat keripik sukun sejak 2009.

Meski begitu, Ronni mengakui, berbagai olahan sukun ini merupakan makanan khas masyarakat Pulau Sumatra, khususnya dari Belitung. Ia mendapatkan ide membuat olahan sukun dari orang tuanya yang berasal dari Belitung.

Tak hanya keripik, Ronni juga mengolah sukun menjadi bolu. Bahkan, mulai tahun ini, ia menambah variasi produk berupa pizza sukun. "Saya terus berinovasi mengolah buah sukun, supaya konsumen tidak bosan," ujarnya.

Memang, dari berbagai olahan itu, keripik sukun menuai penggemar paling banyak. "Keripik lebih disukai karena merupakan camilan ringan, berbeda dengan roti dan pizza yang terkesan sebagai makanan berat," ujar Ronni.

Ia menjual keripik sukun ini dengan harga Rp 15.000 per bungkus. Dalam sebulan, dari penjualan keripik, Ronni mengaku mengantongi omzet hingga Rp 20 juta.

Pria berusia 30 tahun ini optimistis, produk olahan sukun akan terus berkembang. Sebab, buah yang banyak mengandung karbohidrat ini kaya akan serat, sehingga baik untuk kesehatan.

Selain itu, sukun juga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes. "Sukun memiliki indeks glikemik yang rendah," katanya.

Ronni menjual produk olahan sukun ini di beberapa minimarket yang tersebar di Yogyakarta dan Semarang. Ia juga memasok keripik, roti dan pizza sukun ke kantin-kantin kampus. Ronni sengaja mengincar pasar mahasiswa karena biasanya kaum muda tertarik mencoba produk-produk baru.
readmore »»  

Omzet Ratusan Juta Rupiah dari Tahu Tuna




Bisnis kuliner memang tak pernah surut. Pengusahanya pun terus menciptakan menu baru, seperti tahu berisi ikan tuna. Tahu tuna ini terbukti sangat digemari. Berkat tahu tuna, produsen tahu tuna di Pacitan bisa meraup omzet ratusan juta per bulan.

Tahu merupakan makanan ringan yang sangat akrab dengan lidah orang Indonesia. Selain kandungan proteinnya tinggi, tahu banyak dikonsumsi karena harganya yang murah.

Untuk mendongkrak harga tahu ini, pengusaha makanan sering menambahkan olahan lain sebagai pengisi tahu. Langkah ini pula yang dilakukan Sri Sumiati. Pemilik usaha Olahan Tuna Pak Ran asal Pacitan ini menambah adonan tuna sebagai bahan pengisi tahu.

Sri belanja tahu putih dari pabrik tahu hingga sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per hari. Tahu putih ini kemudian dia goreng dan di dalamnya diberi isi adonan tuna. Setiap hari, Sri membutuhkan satu kuintal tuna sebagai pengisi tahu.

Bersama suaminya, Pak Ran, Sri menggeluti bisnis olahan ikan tuna sejak 2009. Produk awal olahan tuna Pak Ran adalah bakso ikan tuna, pepes tuna, dan tuna bakar. Sri pun terus berinovasi supaya usahanya tetap berkembang.

Produk tahu tuna merupakan hasil inovasinya tahun ini. "Kami baru mencoba awal tahun ini, peminatnya banyak," kata Sri. Tiap hari, Sri mampu menghasilkan tahu tuna sebanyak 1.500 bungkus. Tiap bungkusnya berisi 10 buah tahu tuna yang siap makan. Alhasil, dalam satu bulan Sri mampu memproduksi 45.000 bungkus.

Ia menjual satu bungkus tahu tuna seharga Rp 4.500 hingga Rp 5.000. Dari jualan tahu isi tuna ini, saban bulan Sri pun mampu menangguk omzet antara Rp 200 juta hingga Rp 230 juta.

Sri mengaku, awalnya hanya memasarkan produknya sebagai jajanan oleh-oleh wisata Pacitan. Namun, karena rasanya enak, tahu tuna Pak Ran kebanjiran pesanan. "Order banyak berasal dari Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Solo. Biasanya, sekali pesan, mereka minta sebanyak 500 bungkus," kata Sri.

Sedendang seirama dengan Sri, pembuat tahu tuna lainnya, yakni Dewi Indriani asal Bogor juga menuai berkah dari penganan ini. Wanita berusia 39 tahun ini memulai usaha pembuatan tahu tuna sejak Juli 2011. Seperti halnya Sri, Dewi menggunakan tahu karena banyak penggemarnya. Membuat tahu tuna ini merupakan produk terobosan baru dari usaha Dewi.

Selain itu, Dewi juga melihat kesadaran masyarakat terhadap produk ikan tuna masih rendah. Padahal, ikan tuna sangat kaya akan protein dan omega 3.

Meski baru setengah tahun mengembangkan usaha ini, Dewi sudah memiliki pelanggan tetap yakni sebuah hotel di kawasan Bandengan, Jakarta Utara. Dalam sebulan, ia memasok sekitar 150 kg ke hotel tersebut. Sedangkan sisanya, dia distribusikan di beberapa restoran di Jabodetabek.

Dewi pun bisa meraup omzet hingga Rp 21 juta saban bulan. Ia menjual produknya dengan harga Rp 40.000 untuk ukuran 500 gram. Isi kemasannya terdiri dari 24 potong tahu.

Dewi yakin bisnis pembuatan tahu tuna ini sangat menjanjikan ke depannya. Selain pemainnya masih jarang, dengan tambahan ikan tuna, gizi tahu tentu menjadi lebih tinggi. "Masalahnya ada di strategi pemasaran," ujarnya.

Maklum, selama ini, Dewi masih mengandalkan pemasaran langsung, dengan mendatangi hotel atau restoran. "Mereka memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang nutrisi tahu tuna," ujarnya. kompas
readmore »»  

Hendy Setiono, dari Gerobak Kini Presiden Direktur

 
Meninggalkan bangku kuliah untuk memulai usaha kecil-kecilan tidak banyak dilakukan kaum muda. Butuh keberanian dan perhitungan yang matang dalam melakukan hal tersebut. Namun, inilah jalan yang dilakukan oleh seorang Hendy Setiono.


Ia sempat mengenyam ilmu di Jurusan Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya. Kuliah ditinggalkan karena waktu itu ia melihat prospek akan bisnis makanan Timur Tengah, yakni kebab. "Saya sangat hobi untuk berwisata kuliner, termasuk wisata kuliner untuk makanan yang bernama kebab ini. Kebetulan beberapa waktu silam, saya mendapat kesempatan untuk jalan-jalan ke Qatar. Di sana banyak sekali penjual yang menjual makanan tradisional Turki yang biasa disebut kebab di sepanjang jalan yang saya lalui. Dari apa yang saya temui dan saya rasakan, setelah saya mencoba mencicipinya di sana, terbesit ide untuk mencoba memopulerkan makanan ini di Indonesia," ujar Hendy kepada Kompas,.


Kunjungannya ke negara di Timur Tengah tersebut karena sang ayah yang merupakan operator perusahaan minyak di negara itu. Lantas, makanan itu dibawanya ke Surabaya untuk dicoba dikembangkan.

Ternyata, langkahnya ini tidak mendapatkan dukungan penuh dari orangtua karena bangku kuliah ia tinggalkan demi menjalankan usaha yang belum tentu keberhasilannya saat itu. Apalagi, kata Hendy, keluarganya tidak ada yang berlatar belakang wirausaha atau menjalankan bisnis. "Dukungan finansial untuk modal waktu itu (pun) terbatas," ujarnya.

Ia pun hanya dapat pinjaman uang dari adiknya sebesar Rp 4 juta untuk memulai bisnis kebab yang kini dikenal dengan Kebab Turki Baba Rafi. Nama usahanya itu berasal dari nama depan anaknya, Rafi Darmawan. Adapun kata "baba" yang merupakan bahasa Arab, artinya ayah.



Sewaktu memulai usaha itu, ia sudah berkeluarga. Istrinya pun turut andil dalam usaha kuliner ini karena bisnis kebab sendiri awalnya merupakan industri rumah tangga. Selain istrinya, ia pun menggandeng temannya, Hasan Baraja, dalam mendirikan usaha kebab Baba Rafi. "Beliau merupakan orang yang men-support awal berdirinya Baba Rafi," kata ayah dari Rafi Darmawan, Refa Audrey Zahira, dan Ready Enterprise ini.

Niat dan modal pun tak cukup menyertai perkembangan usaha Hendy ini. Berbekal pengalaman mengikuti seminar hingga pertemuan dengan relasi bisnis, ia pun menciptakan moto "LETAM." "L - Lihat peluang yang ada, E - Evaluasi peluang itu, T - Tirukan cara yang mungkin dapat diadopsi, A - Amati caranya dan lakukan, M - Modifikasi cara yang telah dipilih itu," ujarnya.

Ia menyebutkan, moto ini sudah muncul sedari awal sebelum usaha dimulai. Dengan semua bekal itu, tidak lantas ia mudah menjalani peruntungannya di bisnis kebab yang kini berkembang menjadi sejumlah produk kuliner, yakni roti Maryam Aba-Abi, Piramizza, dan Ayam Bakar Mas Mono.

Awalnya, bisnis yang dijalankannya bukan langsung berbentuk outlet, melainkan gerobak dorong berwarna kuning. Dengan gerobak buatan sendiri, ia pun mangkal di daerah Nginden Semolo, Surabaya. Ia ditemani seorang karyawan.

Pahit-manisnya berbisnis pun ia rasakan. Hendy pun bercerita bagaimana ia berjualan sampai kehujanan, jatuh hingga rotinya berserakan di jalan. "Kehujanan, jatuh, roti pun langsung klemeran di jalan," kata Hendy.

Tidak hanya sebatas itu, uang hasil penjualannya pun sempat dibawa pergi oleh karyawan penggantinya. Kesulitan lainnya adalah mengenai masalah pendanaan. Bunga pinjaman perbankan yang tinggi harus ia terima. Pernah ia diberikan suku bunga kredit untuk modal kerja hingga 18 persen. Namun, ia memaklumi dengan pemahaman bank tentunya melihat risiko dalam memberikan modal. Untungnya, bunga tersebut bisa terbayarkan dengan laba yang ia peroleh.

"Kesulitan pasti ada, tetapi saya selalu ber-positive thinking, pola pikir mengenai 'kesulitan' itu saya ubah menjadi sebuah tantangan karena tantangan dan peluang itu bedanya sangat tipis sekali untuk mencapai keberhasilan. Dan alhamdulillah, saya didukung dengan tim manajemen yang berkualitas," ucap Hendy.

Buah manis pun akhirnya ia petik dari perjuangannya itu. Seorang Hendy kini bisa menjabat Presiden Direktur PT Baba Rafi Indonesia (kebab Turki Baba Rafi, Roti Maryam Aba-Abi, Nasi Goreng Kebab Baba Rafi, dan Chicken Kebab Baba Rafi), PT Piramida Zahira (Piramizza), dan PT Panen Raya Indonesia (ayam bakar Mas Mono). Bahkan, pria yang tidak menyelesaikan pendidikan strata satunya ini sampai bisa mendirikan perusahaan di Malaysia (Baba Rafi Malaysia Sdn Bhd).

Hendy menuturkan, alasannya ia merambah Malaysia karena kulturnya yang masih serumpun dengan Indonesia. Artinya, selera makanannya pun tidak jauh berbeda. "Jadi, saya melihat ini ada peluang besar yang bisa saya garap bersama tim saya dan saya berharap juga bisa sukses seperti di Indonesia," katanya.

Apa yang diharapkannya itu berbuah hasil sebuah penghargaan, yaitu menjadi pemenang dalam Global Leadership Awards 2011 untuk sektor makanan dan minuman ringan di Malaysia.

Penghargaan tersebut hanya satu dari deretan penghargaan yang ia raih dari menjalankan bisnis sejak tahun 2003. Hanya dua tahun setelah memulai usaha, ia sudah meraih penghargaan tingkat provinsi, salah satunya ia berhasil menyabet juara pertama untuk "Entreprenur Business Plan" dari Universitas Petra, Surabaya. Setelah itu, menyusul penghargaan dari beberapa media nasional hingga Kementerian UKM dan Koperasi yang mengisi setiap tahunnya.

Penghargaan internasional pun ia dapatkan, salah satunya melalui Asia Pasific Entrepreneurship Awards 2008 dari Enterprise Asia from Malaysia tahun 2008. Minimal ada 20 penghargaan yang ia dapatkan dari keberhasilan wirausahanya, baik dari dalam maupun luar negeri. Pencapaiannya itu dapat dilihat dari menjamurnya gerai waralabanya.

Kini, Hendy mempunyai lebih dari 750 outlet, baik di Indonesia maupun di Malaysia, 50 outlet Roti Maryam Aba-Abi, dan 75 outlet Piramizza di seluruh Indonesia. Restoran Ayam Bakar Mas Mono-nya pun sudah 20 buah di Jabodetabek. Usaha waralabanya ini pun berdampak pada kebutuhan tenaga kerja yang terbilang banyak.

Demi efisiensi, ia mendirikan Baba Rafi Academy, yakni lembaga pelatihan untuk memenuhi kebutuhan pegawai usahanya. Pendidikan ini diberikannya gratis bagi lulusan SMP hingga SMU yang mau bekerja di usahanya. "Sudah gratis, langsung kerja lagi," terang Hendy.

Bahkan, dengan sembari tertawa, ia pun menyebutkan, "Kalau saya tidak sempat wisuda, tetapi mewisuda orang." Ini karena bagi lulusan akademi tersebut, ia mengadakan semacam wisuda kecil-kecilan. Hasilnya, lulusannya lumayan untuk membantu kebutuhan tenaga kerja hingga 100 orang per bulan.

Bekerja sama dengan Magistra Utama, akademi ini telah berada di delapan kota, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Penempatan lulusannya pun di seluruh Indonesia.

Untuk ke depannya, Hendy berharap ia bisa membuka dua outlet dalam satu hari. Niatannya ini tentu akan membutuhkan banyak pegawai. Sudah tentu usahanya ini memberikan angin segar bagi para penganggur. Ia pun berniat terus mengembangkan bisnisnya di bidang kuliner dengan fokus pada pasar domestik.

"Saya memang fokus saya di industri, di mana kami memang pada pengembangan jumlah jaringanoutlet dalam lima tahun ke depan," ucap Hendy.

Ia pun ingin ke depannya menggandeng banyak usaha kecil dan menengah dengan sejumlah lini usahanya. "Manfaatin, jangan orang luar yang masuk ke sini. Manfaatin resources local," kata Hendy, yang juga menjabat Wakil Ketua Komite Tetap untuk Pengembangan Wirausaha di Kadin Indonesia


readmore »»